Beranda
>
Gagasan
>
Artikel

Managing Expectations: Insight Realistis Terhadap Management Development Programs


28 May 2024
Banner-Article-May-Tambahan3.jpg

Pak Dhino, seorang Talent Management Manager di salah satu perusahaan perbankan terkemuka di Indonesia, mengungkapkan kebingungannya saat disodori tanggung jawab untuk mempresentasikan hasil dari Management Development Program (MDP). Meskipun program ini telah menghabiskan anggaran besar dan melibatkan kerjasama dengan lembaga pendidikan eksekutif terkemuka selama dua tahun, feedback dari para pengguna lapangan menunjukkan kekurangan yang signifikan.

Para lulusan MDP masih belum mampu menyamai pengetahuan dan pengalaman praktis rekan-rekan yang telah lama bekerja. Mereka mungkin memiliki pemahaman teoritis, namun kurang memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang efektif. Bahkan, sikap mereka terkadang dianggap angkuh oleh rekan kerja yang telah lama berada di perusahaan, sulit menerima masukan, dan kurang memiliki kerendahan hati yang penting dalam dinamika tim.

Dalam diskusi ini, terungkap bahwa harapan dari rekan kerja yang telah berpengalaman terhadap lulusan MDP adalah kemampuan untuk menjalankan peran kepemimpinan dengan baik, dengan pengetahuan yang kuat, kemampuan pengambilan keputusan yang bijaksana, dan sikap yang baik dalam berinteraksi dengan sesama anggota tim.

Namun, realitasnya adalah bahwa menjadi pemimpin yang kompeten membutuhkan waktu dan pengalaman yang tidak dapat dipersingkat hanya dalam dua tahun program. Meskipun MDP dirancang sebagai program percepatan, kepemimpinan yang matang memerlukan pengalaman lapangan yang mendalam untuk mengembangkan pengetahuan tak tertulis dan kebijaksanaan yang diperlukan.

Saat ini, tantangan bagi para Talent Management Manager dan HR Director semakin kompleks dengan perubahan zaman digital dan kehadiran generasi Z di tempat kerja. Pertanyaan mengenai efektivitas program MDP menjadi semakin relevan karena tingginya investasi yang diperlukan untuk melaksanakannya. Seperti yang dialami oleh Pak Dhino, perusahaan harus memastikan bahwa Return on Training Investment (ROTI) sebanding dengan harapan yang diinvestasikan.

Bagaimana perspektif para peserta MDP sendiri? Nina, lulusan dari salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia, awalnya merasa sangat bangga saat diterima dalam program Management Trainee di salah satu bank besar. Namun, setelah menyelesaikan program dan memasuki dunia nyata, Nina mulai merasakan adanya kesenjangan antara pengetahuan yang diperolehnya selama program dengan kondisi di lapangan. Terdapat perbedaan signifikan antara teori yang dipelajarinya dengan realitas pasar. Misalnya, aspek "ilmu lapangan" berlaku berbeda tergantung dari daerah atau wilayahnya. Hal ini mungkin tidak dipahami oleh para pendatang baru, namun harapan dari lingkungan kerja dan pelanggan menginginkan mereka dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi. Di tengah tekanan kerja yang tinggi, tantangan utama yang dihadapi Nina adalah ekspektasi dari orang lain dan pandangan sinis dari para senior yang memiliki pengalaman lebih lama. Hal ini membuatnya takut dianggap tidak kompeten, sehingga akhirnya merasa burnout, kehilangan kepercayaan diri, dan mempertimbangkan untuk mengundurkan diri.

Meski tidak semua memiliki pengalaman buruk seperti yang dialami Nina. Di sini kita mendapatkan wawasan bahwa pentingnya mengelola ekspektasi. Pada tahun 2000, dua tokoh pelatihan terkenal, Michael Lombardo dan Robert Eichinger, dalam buku mereka "The Career Architect", mengembangkan model pembelajaran yang dikenal sebagai model 70/20/10. Dalam survei yang dilakukan pada tahun 1996 terhadap hampir 200 eksekutif, disimpulkan bahwa sebagian besar atau 70% dari pengembangan seseorang berasal dari tugas-tugas yang menantang, pengalaman lapangan, serta interaksi dengan orang lain. 20% pengembangan diperoleh melalui umpan balik, diskusi dengan mentor, coaching dengan atasan serta pembelajaran yang diperoleh dari orang lain. Hanya sebagian kecil dari pembelajaran, yaitu 10% adalah yang berasal dari kursus dan pelatihan formal.

 

Gambar 1: 70/20/10 Learning Model by Michael Lombardo & Robert Eichinger

 Dengan pemahaman ini, perusahaan perlu menyesuaikan pendekatan pengembangan talenta mereka untuk memastikan bahwa para peserta MDP mendapatkan pengalaman lapangan yang cukup untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan yang diperlukan dalam dunia kerja yang dinamis saat ini."

 Belajar dari model tersebut, menjadi realistis apa yang dikeluhkan oleh Pak Dhino beserta para pekerja senior di tempat mereka. Tidak mungkin seseorang yang lulus program MDP 1-2 tahun bisa menjadi seorang pemimpin yang handal. Program MDP bukanlah sebuah oven, yang begitu hasilnya keluar, sudah langsung bisa disajikan dan dinikmati. Of course not!

 Program MDP sebenarnya memberikan kontribusi pembelajaran sebesar 10%, yang tentunya diperkuat dengan pemberian mentor dan peluang praktek lapangan. Dengan demikian, program MDP mampu memberikan tambahan momentum belajar sebesar 20%, melalui interaksi dan pembelajaran dari orang lain. Meskipun angka ini tidak mungkin menjadi jumlah yang tepat, namun setelah 1-2 tahun mengikuti program MDP, kontribusi pengembangan yang diberikan ternyata mencapai sekitar 30%. Ini berarti masih ada 70% perjalanan pembelajaran yang harus dilalui seiring berjalannya waktu dan pengalaman kerja.

 Bisa disimpulkan disini, Pak Dhino, para senior dan juga manajemen perusahaan perlu lebih bersabar untuk memberi waktu. Program MDP yang dilakukan bukan berarti gagal. Tidak, tentu saja investasi tersebut tidak gagal. Namun yang perlu dikelola adalah ekspektasi yang realistis. Bahwa kematangan seseorang dalam mengatasi masalah di lapangan, kebijaksanaan dalam mengelola orang membutuhkan waktu yang lebih panjang dari 1-2 tahun.

 Oleh karena itu, bukanlah saatnya untuk membubarkan program MDP yang telah dirancang dengan baik, melainkan untuk mengelola ekspektasi dengan bijak. Pengembangan bukanlah tujuan yang langsung tercapai, melainkan proses panjang dan perjalanan yang berkelanjutan.

 

Penulis: Mawar Sheila - Resident Consultant
Editor: Gardhika Waskita P - Resident Assessor

ARTIKEL TERKAIT
Banner-Article-May-Tambahan3.jpg
Managing Expectations: Insight Realistis Terhadap Management Development Programs
28 May 2024

Pak Dhino, seorang Talent Management Manager di salah satu perusahaan perbankan terkemuka di Indonesia, mengungkapkan kebingungannya saat disodori tanggung jawab untuk mempresentasikan hasil dari Management Development Program (MDP). Meskipun program ini telah menghabiskan anggaran besar dan melibatkan kerjasama dengan lembaga pendidikan eksekutif terkemuka selama dua tahun, feedback dari para pengguna lapangan menunjukkan kekurangan yang signifikan.

Para lulusan MDP masih belum mampu menyamai pengetahuan dan pengalaman praktis rekan-rekan yang telah lama bekerja. Mereka mungkin memiliki pemahaman teoritis, namun kurang memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang efektif. Bahkan, sikap mereka terkadang dianggap angkuh oleh rekan kerja yang telah lama berada di perusahaan, sulit menerima masukan, dan kurang memiliki kerendahan hati yang penting dalam dinamika tim.

Dalam diskusi ini, terungkap bahwa harapan dari rekan kerja yang telah berpengalaman terhadap lulusan MDP adalah kemampuan untuk menjalankan peran kepemimpinan dengan baik, dengan pengetahuan yang kuat, kemampuan pengambilan keputusan yang bijaksana, dan sikap yang baik dalam berinteraksi dengan sesama anggota tim.

Namun, realitasnya adalah bahwa menjadi pemimpin yang kompeten membutuhkan waktu dan pengalaman yang tidak dapat dipersingkat hanya dalam dua tahun program. Meskipun MDP dirancang sebagai program percepatan, kepemimpinan yang matang memerlukan pengalaman lapangan yang mendalam untuk mengembangkan pengetahuan tak tertulis dan kebijaksanaan yang diperlukan.

Saat ini, tantangan bagi para Talent Management Manager dan HR Director semakin kompleks dengan perubahan zaman digital dan kehadiran generasi Z di tempat kerja. Pertanyaan mengenai efektivitas program MDP menjadi semakin relevan karena tingginya investasi yang diperlukan untuk melaksanakannya. Seperti yang dialami oleh Pak Dhino, perusahaan harus memastikan bahwa Return on Training Investment (ROTI) sebanding dengan harapan yang diinvestasikan.

Bagaimana perspektif para peserta MDP sendiri? Nina, lulusan dari salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia, awalnya merasa sangat bangga saat diterima dalam program Management Trainee di salah satu bank besar. Namun, setelah menyelesaikan program dan memasuki dunia nyata, Nina mulai merasakan adanya kesenjangan antara pengetahuan yang diperolehnya selama program dengan kondisi di lapangan. Terdapat perbedaan signifikan antara teori yang dipelajarinya dengan realitas pasar. Misalnya, aspek "ilmu lapangan" berlaku berbeda tergantung dari daerah atau wilayahnya. Hal ini mungkin tidak dipahami oleh para pendatang baru, namun harapan dari lingkungan kerja dan pelanggan menginginkan mereka dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi. Di tengah tekanan kerja yang tinggi, tantangan utama yang dihadapi Nina adalah ekspektasi dari orang lain dan pandangan sinis dari para senior yang memiliki pengalaman lebih lama. Hal ini membuatnya takut dianggap tidak kompeten, sehingga akhirnya merasa burnout, kehilangan kepercayaan diri, dan mempertimbangkan untuk mengundurkan diri.

Meski tidak semua memiliki pengalaman buruk seperti yang dialami Nina. Di sini kita mendapatkan wawasan bahwa pentingnya mengelola ekspektasi. Pada tahun 2000, dua tokoh pelatihan terkenal, Michael Lombardo dan Robert Eichinger, dalam buku mereka "The Career Architect", mengembangkan model pembelajaran yang dikenal sebagai model 70/20/10. Dalam survei yang dilakukan pada tahun 1996 terhadap hampir 200 eksekutif, disimpulkan bahwa sebagian besar atau 70% dari pengembangan seseorang berasal dari tugas-tugas yang menantang, pengalaman lapangan, serta interaksi dengan orang lain. 20% pengembangan diperoleh melalui umpan balik, diskusi dengan mentor, coaching dengan atasan serta pembelajaran yang diperoleh dari orang lain. Hanya sebagian kecil dari pembelajaran, yaitu 10% adalah yang berasal dari kursus dan pelatihan formal.

 

Gambar 1: 70/20/10 Learning Model by Michael Lombardo & Robert Eichinger

 Dengan pemahaman ini, perusahaan perlu menyesuaikan pendekatan pengembangan talenta mereka untuk memastikan bahwa para peserta MDP mendapatkan pengalaman lapangan yang cukup untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan yang diperlukan dalam dunia kerja yang dinamis saat ini."

 Belajar dari model tersebut, menjadi realistis apa yang dikeluhkan oleh Pak Dhino beserta para pekerja senior di tempat mereka. Tidak mungkin seseorang yang lulus program MDP 1-2 tahun bisa menjadi seorang pemimpin yang handal. Program MDP bukanlah sebuah oven, yang begitu hasilnya keluar, sudah langsung bisa disajikan dan dinikmati. Of course not!

 Program MDP sebenarnya memberikan kontribusi pembelajaran sebesar 10%, yang tentunya diperkuat dengan pemberian mentor dan peluang praktek lapangan. Dengan demikian, program MDP mampu memberikan tambahan momentum belajar sebesar 20%, melalui interaksi dan pembelajaran dari orang lain. Meskipun angka ini tidak mungkin menjadi jumlah yang tepat, namun setelah 1-2 tahun mengikuti program MDP, kontribusi pengembangan yang diberikan ternyata mencapai sekitar 30%. Ini berarti masih ada 70% perjalanan pembelajaran yang harus dilalui seiring berjalannya waktu dan pengalaman kerja.

 Bisa disimpulkan disini, Pak Dhino, para senior dan juga manajemen perusahaan perlu lebih bersabar untuk memberi waktu. Program MDP yang dilakukan bukan berarti gagal. Tidak, tentu saja investasi tersebut tidak gagal. Namun yang perlu dikelola adalah ekspektasi yang realistis. Bahwa kematangan seseorang dalam mengatasi masalah di lapangan, kebijaksanaan dalam mengelola orang membutuhkan waktu yang lebih panjang dari 1-2 tahun.

 Oleh karena itu, bukanlah saatnya untuk membubarkan program MDP yang telah dirancang dengan baik, melainkan untuk mengelola ekspektasi dengan bijak. Pengembangan bukanlah tujuan yang langsung tercapai, melainkan proses panjang dan perjalanan yang berkelanjutan.

 

Penulis: Mawar Sheila - Resident Consultant
Editor: Gardhika Waskita P - Resident Assessor

Banner-Article-May-Tambahan2.jpg
From Classroom to Boardroom: Kekuatan Pembelajaran Praktis dalam Pendidikan Bisnis
28 May 2024

Dalam dunia bisnis yang terus berkembang, pentingnya pembelajaran praktis dalam pendidikan bisnis tidak dapat dilebih-lebihkan. Ketika tuntutan pasar global terus berubah, terdapat kesadaran yang semakin besar bahwa pengetahuan teoritis saja tidak cukup untuk membekali para pemimpin bisnis masa depan dengan keterampilan yang diperlukan untuk sukses. Pembelajaran praktis, dengan penekanan pada penerapan dunia nyata dan pengalaman langsung, menawarkan pendekatan transformatif yang mempersiapkan siswa untuk menavigasi kompleksitas dunia bisnis secara efektif.

Salah satu implikasi utama pembelajaran praktis dalam pendidikan bisnis adalah kemampuannya menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik. Meskipun pengetahuan teoritis memberikan pemahaman dasar tentang konsep dan prinsip bisnis, pembelajaran praktis memungkinkan siswa untuk menerjemahkan pengetahuan tersebut ke dalam tindakan. Dengan terlibat dalam aktivitas pengalaman seperti studi kasus dan simulasi, siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan ketajaman pengambilan keputusan yang penting untuk sukses dalam lingkungan kompetitif saat ini.

Selain itu, pembelajaran praktis menumbuhkan budaya inovasi dan kewirausahaan dalam pendidikan bisnis. Dengan mendorong siswa untuk mengeksplorasi tantangan dunia nyata, mengidentifikasi peluang, dan mengembangkan solusi kreatif, pembelajaran praktis menumbuhkan pola pikir kewirausahaan yang penting untuk mendorong pertumbuhan dan inovasi dalam bisnis dari semua ukuran. Baik meluncurkan startup atau memimpin perusahaan multinasional, kemampuan berpikir inovatif dan beradaptasi terhadap perubahan sangat penting untuk mencapai kesuksesan berkelanjutan.

Selain itu, pembelajaran praktis mendorong kolaborasi dan kerja tim, yang merupakan keterampilan yang sangat diperlukan dalam dunia bisnis yang saling terhubung saat ini. Dengan mengerjakan proyek kelompok, berpartisipasi dalam kegiatan berbasis tim, dan terlibat dalam kesempatan belajar berdasarkan pengalaman, siswa belajar bagaimana berkomunikasi secara efektif, memanfaatkan perspektif yang beragam, dan berkolaborasi dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Keterampilan kolaboratif ini tidak hanya penting untuk membangun tim yang kohesif dalam organisasi tetapi juga untuk menjalin kemitraan dan aliansi antar industri dan sektor.

Studi Kasus

Untuk mengilustrasikan kekuatan transformatif pembelajaran praktis dalam pendidikan bisnis, mari kita lihat kasus Airbnb. Didirikan pada tahun 2008 oleh Brian Chesky, Joe Gebbia, dan Nathan Blecharczyk, Airbnb merevolusi industri perhotelan dengan menyediakan platform bagi individu untuk menyewakan rumah mereka kepada wisatawan. Pada intinya, kesuksesan Airbnb dapat dikaitkan dengan pengalaman pembelajaran praktis yang dilakukan para pendirinya.

Pada tahap awal Airbnb, para pendiri memanfaatkan pengalaman pembelajaran praktis mereka untuk menghadapi tantangan dalam meluncurkan startup di industri yang sangat kompetitif. Dengan memanfaatkan latar belakang mereka di bidang desain, teknologi, dan kewirausahaan, mereka menerapkan pendekatan pragmatis dalam pemecahan masalah, bereksperimen dengan berbagai strategi, dan mengulangi model bisnis mereka berdasarkan masukan real-time dari pengguna.

Salah satu insiden terkenal yang menyoroti ketergantungan Airbnb pada pembelajaran praktis terjadi pada tahun 2009 ketika perusahaan tersebut menghadapi kemunduran kritis. Ketika bisnis ini sedang berjuang untuk mendapatkan daya tarik, para pendiri memutuskan untuk menerapkan pembelajaran praktis dengan menjangkau pengguna secara pribadi, mengunjungi rumah mereka, dan mendokumentasikan pengalaman mereka. Pendekatan langsung ini tidak hanya membantu Airbnb mendapatkan wawasan berharga mengenai kebutuhan dan preferensi penggunanya, namun juga memungkinkan para pendiri Airbnb menyempurnakan platform mereka dan meningkatkan pengalaman pengguna.

Melalui komitmen mereka terhadap pembelajaran praktis dan upaya inovasi yang tiada henti, Airbnb bertransformasi dari startup yang kesulitan menjadi fenomena global, mendisrupsi industri perhotelan tradisional dan mendefinisikan ulang cara orang bepergian dan menjelajahi dunia.

Kesimpulannya, pembelajaran praktis memainkan peran penting dalam membentuk masa depan pendidikan bisnis dengan membekali siswa dengan keterampilan, pola pikir, dan pengalaman yang diperlukan untuk berkembang dalam lingkungan bisnis yang dinamis saat ini. Dengan menerapkan pembelajaran praktis, pendidik dapat memberdayakan generasi pemimpin bisnis berikutnya untuk mendorong inovasi, mendorong kolaborasi, dan menciptakan dampak positif dalam dunia bisnis dan dunia bisnis lainnya.

 

Artikel oleh Fanny Sekar Parentya - Business Development Executive

Banner-Article-May-Tambahan1.jpg
Mengatasi Post-Holiday Blues Bagi Profesional
28 May 2024

Saat gemerlapnya perayaan meredup dan musim liburan berubah menjadi kenangan, banyak profesional mendapati diri mereka merasakan post-holiday blues yang sangat umum terjadi. Fenomena ini sering kali menimbulkan perasaan sedih, stres, dan menurunnya motivasi karena hari-hari yang menyenangkan dan tanpa beban digantikan oleh kerasnya pekerjaan. Dengan mengenali penyebab perasaan ini dan menerapkan strategi efektif untuk mengatasinya sangat penting untuk menjaga produktivitas dan kesejahteraan.

Memahami Penyebab Post-Holiday Blues

Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap munculnya post-holiday blues:

  1. Pergeseran Rutinitas yang Mendadak: Peralihan dari jadwal liburan yang santai ke hari kerja yang terstruktur bisa sangat mengejutkan. Rutinitas ini terasa kontras antara kebebasan berlibur dan tanggung jawab pekerjaan seringkali memicu perasaan tidak puas.
  2. Mengakhiri Kegiatan Perayaan: Liburan adalah waktu untuk menjalin ikatan dengan orang-orang terkasih, melakukan aktivitas yang menyenangkan, dan melepaskan diri dari stres pekerjaan. Kembali ke kantor bisa terasa seperti pengingat akan momen-momen menyenangkan yang telah berlalu, memicu nostalgia dan kesedihan.
  3. Tekanan Kinerja: Setelah masa rileks dan santai, tekanan untuk memenuhi target pekerjaan dan tenggat waktu bisa terasa sangat berat. Kekhawatiran tentang mengejar atau mempertahankan kinerja dapat menyebabkan kecemasan dan rendahnya motivasi.

Strategi Mengalahkan Post-Holiday Blues

Terlepas dari prevalensinya, post-holiday blues dapat dikelola secara efektif. Berikut beberapa strategi untuk membantu Anda bangkit kembali:

  1. Bekerja Kembali Secara Bertahap: Kemudahan kembali ke rutinitas kerja Anda bisa diawali dengan menangani tugas-tugas kecil terlebih dahulu dan menetapkan tujuan yang realistis. Pendekatan bertahap ini dapat membantu mengurangi perasaan kewalahan dan membuat transisi bekerja menjadi lebih lancar.
  2. Fokus pada Perawatan Diri: Prioritaskan aktivitas yang meningkatkan kesejahteraan fisik dan emosional, seperti olahraga teratur, makan sehat, tidur yang cukup, dan relaksasi. Melakukan hobi dan aktivitas yang memberikan kegembiraan juga dapat meningkatkan suasana hati dan energi Anda.
  3. Tetap Terhubung: Diskusikan perasaan Anda pasca-liburan dengan kolega dan atasan Anda. Berbagi pengalaman dapat menumbuhkan lingkungan kerja yang mendukung dan dapat mengarah pada strategi kolaboratif untuk mengelola stres.
  4. Rencanakan Istirahat: Lawan monoton dengan merencanakan istirahat singkat atau aktivitas menyenangkan di akhir pekan atau malam hari. Memiliki suatu hal untuk dinanti-nantikan dapat meningkatkan motivasi dan semangat Anda secara keseluruhan.
  5. Tetapkan Tujuan Baru: Manfaatkan waktu kembali ke tempat kerja sebagai peluang untuk menetapkan tujuan pribadi dan tujuan profesional yang baru. Tujuan yang jelas dan dapat dicapai dapat menghidupkan kembali tujuan dan dorongan Anda di tempat kerja.

Dengan menerapkan strategi ini, Anda dapat secara efektif mengelola post-holiday blues dan kembali bekerja dengan energi baru dan positif. Menjalani penyesuaian setelah liburan adalah hal yang wajar, namun dengan pendekatan proaktif, Anda dapat mengatasi tantangan ini dan berhasil mencapai target yang diinginkan dalam karir Anda. Jadi, hadapi waktu anda kembali bekerja dengan pandangan baru dan ambil langkah-langkah untuk memastikan transisi kembali ke tempat kerja yang lancar dan produktif.

 

Artikel oleh Fanny Sekar Parentya - Business Development Executive