Beranda
>
Gagasan
>
Artikel

Bagaimana Perusahaan dapat Memotivasi Karyawan dengan Hierarki Kebutuhan Maslow

Banner-Article-Sept-MotivasiMaslow.jpg

Salah satu konsep yang cukup populer untuk memotivasi karyawan dalam manajemen sumber daya manusia adalah Hierarki Kebutuhan Maslow (Maslow’s Hierarchy of Need). Disampaikan oleh Abraham Maslow pada tahun 1943 dalam sebuah publikasi berjudul A Theory of Human Motivation, Hierarki Kebutuhan Maslow menjadi salah satu teori yang sering didiskusikan dalam berbagai sekolah bisnis untuk membantu para manajer dan profesional memahami apa yang memotivasi karyawan mereka--dan bagaimana mereka dapat menggunakannya untuk mempertahankan karyawan berprestasi. 

Hierarki Kebutuhan Maslow sendiri awalnya terdiri atas lima faktor motivasi: kebutuhan fisik (physiological needs), memperoleh rasa aman (safety needs), merasa menjadi bagian dari suatu kelompok sosial (belonging), merasa dihargai (esteem), dan menunjukkan aktualisasi diri (self actualisation). Kebutuhan ini bersifat berjenjang, dengan kebutuhan fisik berada di dasar piramida, dan kebutuhan aktualisasi diri di puncak  piramida, dengan kebutuhan yang berada di  bagian lebih atas tidak akan dapat dipenuhi sebelum kebutuhan yang berada di bawahnya terpenuhi. Pada perkembangan selanjutnya, Maslow melakukan penyesuaian atas hierarki kebutuhannya, seperti menambahkan transendensi diri (self transcendence) di bagian paling atas piramida dan menghilangkan prasyarat kebutuhan yang lebih bawah harus sepenuhnya terpenuhi. Seorang individu atau karyawan, dengan demikian, dapat memiliki kebutuhan akan dan dan merasa dihargai secara bersamaan. 

Secara lebih sederhana, hierarki kebutuhan ini dibagi menjadi 3, yakni kebutuhan dasar (basic needs), kebutuhan psikologis (psychological needs), dan kebutuhan pemenuhan diri (self-fulfillment needs). Kebutuhan dasar terdiri atas kebutuhan fisik dan rasa aman, kebutuhan psikologis terdiri atas kebutuhan sosial dan merasa dihargai,sementara kebutuhan pemenuhan diri terdiri atas aktualisasi diri dan transendensi diri.  

 

Kebutuhan Dasar: Kebutuhan Fisik dan Kebutuhan Atas Rasa Aman

Kebutuhan dasar berada di posisi terendah dalam Hierarki Kebutuhan Maslow, dan mencakup Kebutuhan Fisik dan Kebutuhan akan Rasa Aman. Kebutuhan fisik mencakup diantaranya makanan, kehangatan, dan istirahat, sementara kebutuhan akan rasa aman mencakup di antaranya adalah jaminan dan keselamatan.  Dalam konteks tempat kerja, kebutuhan dasar dapat diterjemahkan menjadi gaji/insentif yang cukup untuk dapat memperoleh makanan dan tempat tinggal, jam kerja dan beban kerja yang proporsional, kemudahan cuti dan istirahat, kejelasan atas status ketenagakerjaan, adanya jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, ketersediaan alat dan fasilitas untuk mendukung tugas, dan lingkungan kerja yang sehat serta aman. 

Pada umumnya, setiap karyawan memiliki kebutuhan dasar dalam intensitas dan periode yang berbeda. Sebagai contoh, seseorang yang baru meniti karier mungkin sangat mementingkan nominal gaji, tetapi, sepanjang waktu, ia akan memiliki kebutuhan lain yang lebih penting (seperti kebutuhan atas kelompok sosial dan merasa dihargai). Atau seorang karyawan senior yang  baru saja mengalami musibah mungkin akan memprioritaskan rasa aman dibandingkan yang lain. Apabila karyawan mempersepsikan bahwa perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar, atau bahkan membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan dasar tersebut (seperti beban kerja yang terlalu berat sehingga membuat mereka tidak bisa beristirahat, atau lingkungan kerja yang tidak aman/tidak sehat, baik secara fisik maupun psikologis), maka mereka akan lebih mungkin untuk meninggalkan tempat kerja mereka. Menjadi penting bagi manajer untuk dapat memastikan agar lingkungan kerja dan organisasi dapat memenuhi kebutuhan dasar karyawan

 

Kebutuhan Psikologis: Kebutuhan Sosial dan Kebutuhan akan Penghargaan

Kebutuhan Psikologis memiliki posisi lebih tinggi dalam  Hierarki Kebutuhan Maslow adalah Kebutuhan Sosial dan Kebutuhan akan Penghargaan. Kebutuhan sosial mencakup diantaranya  kebutuhan untuk tergabung dalam suatu kelompok sosial, kebutuhan untuk menjalin pertemanan, dan kebutuhan untuk merasakan emosi positif bersama dengan orang lain. Adapun kebutuhan akan penghargaan mencakup di antaranya apresiasi atas prestasi atau penyelesaian tugas, rasa hormat dari orang lain, dan juga kesempatan untuk menunjukkan maupun memperoleh pengetahuan maupun pencapaian. Dalam konteks tempat kerja, kebutuhan psikologis dapat diterjemahkan sebagai peluang untuk bersosialisasi dan menjalin hubungan yang positif dengan atasan, bawahan, dan rekan kerja, kesempatan untuk berkontribusi dalam suatu tim / kelompok yang berkaitan dengan pekerjaan maupun luar pekerjaan, kesempatan untuk menjalin jaringan di dalam maupun luar organisasi, apresiasi atau pujian atas pencapaian yang diperoleh, kesempatan untuk memperoleh pelatihan dan pengembangan serta menerapkan hasilnya di dalam pekerjaan, serta kesempatan atas kemajuan karier di masa mendatang. 

Kebutuhan psikologis pada umumnya baru akan muncul apabila karyawan sudah merasa kebutuhan dasarnya terpenuhi. Apabila karyawan merasa bahwa gajinya sudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan bahwa pekerjaan maupun lingkungan kerjanya cukup aman, maka mereka akan mulai mengembangkan kebutuhan-kebutuhan psikologis ini. Mereka akan mulai merasa ingin dilibatkan sebagai bagian dari tim maupun organisasi secara keseluruhan, mencari komunitas di mana mereka bisa menjalin hubungan informal, mencari kesempatan di mana mereka bisa bergabung dan berkontribusi dalam suatu tim kerja, mengeksplorasi project dan target, mencari peluang-peluang pengembangan keterampilan dan karier, serta mengharapkan apresiasi dari orang lain di sekitarnya atas proses dan pencapaian yang ia peroleh. 

Karyawan yang berorientasi pada kebutuhan psikologis pada umumnya lebih berminat untuk berkontribusi dalam tim, lebih siap menerima stretch goal, dan memiliki harapan untuk  dikembangkan ke tahap karir yang lebih jauh. Apabila manajer maupun perusahaan tidak dapat menangkap kebutuhan ini dan membiarkan karyawan tersebut tidak terapresiasi, maka, ia mungkin akan kehilangan minat untuk bekerja lebih lanjut dan mulai mencari perusahaan lain yang dapat mengapresiasi dirinya sesuai dengan apa yang diharapkan. 


 

Kebutuhan Pemenuhan Diri: Kebutuhan akan Aktualisasi Diri dan Transendensi Diri

Kebutuhan akan Pemenuhan Diri menempati posisi tertinggi dalam Hierarki Kebutuhan Maslow, dan pada umumnya, baru akan mulai muncul dalam diri seseorang apabila kebutuhan dasar dan kebutuhan psikologisnya sudah terpenuhi. Kebutuhan atas aktualisasi diri umumnya melibatkan minat untuk dapat memberikan kontribusi dan dampak yang signifikan terhadap organisasi, di mana individu dapat mengaktualisasikan potensi atau kapabilitas yang ia miliki. Kebutuhan atas transendensi diri berada lebih jauh dari aktualisasi diri, di mana mereka melihat dari perspektif yang lebih luas, di mana mereka memberikan inspirasi kepada organisasi maupun karyawan lain. Dalam konteks situasi tempat kerja, kebutuhan pemenuhan diri dapat diterjemahkan sebagai kesempatan untuk mengelola dan memimpin tim kerja atau project besar, implementasi atas usulan inovasi dan pengembangan berkelanjutan, dan kesempatan untuk berbagi, membimbing/mengarahkan, dan menginspirasi orang lain.

Karyawan yang berorientasi pada kebutuhan pemenuhan diri pada umumnya merupakan talenta yang perlu dipersiapkan menjadi calon pemimpin potensial di masa mendatang. Aktualisasi diri pada umumnya hanya dapat dicapai oleh sedikit karyawan, sehingga manajer dan perusahaan perlu memastikan agar karyawan tersebut dapat diberdayakan dan memberdayakan. Apabila perusahaan menemui karyawan dengan orientasi kebutuhan pemenuhan diri, maka perusahaan dapat mulai memberikan penugasan dan memberikan kesempatan atas implementasi gagasan yang membuatnya merasa dapat berkontribusi bukan hanya pada dirinya sendiri, tapi pada pihak yang lebih luas.

Memahami apa yang memotivasi karyawan untuk dapat dengan baik mengerjakan pekerjaanya merupakan suatu hal yang perlu dilakukan oleh perusahaan untuk membantu baik karyawan maupun perusahaan mencapai kesuksesan dalam kinerja. Identifikasi ini dapat dilakukan melalui asesmen potensi, sedangkan asesmen lebih lanjut seperti assessment center akan sangat bermanfaat dalam memahami motivasi karyawan secara lebih menyeluruh.

 

Artikel ditulis oleh Herjuno Tisnoaji, Resident Assessor prasmul-eli

ARTIKEL TERKAIT