Dalam dunia manajemen sumber daya manusia, perusahaan umumnya menginginkan karyawan yang loyal dan berkomitmen pada perusahaan. Hal ini bukanlah tanpa alasan. Karyawan yang menunjukkan komitmen pada tempat kerjanya berarti bahwa perusahaan akan mengeluarkan lebih sedikit biaya dalam merekrut karyawan, dapat berfokus pada kegiatan operasional, dan bahkan dapat memiliki keunggulan tersendiri apabila karyawannya merupakan talenta. Apabila ada terlalu banyak karyawan yang keluar dan masuk, maka hal ini tentunya akan menghambat operasional sehari-hari perusahaan, yang berdampak pada produktivitas secara keseluruhan.
Meski ada kalanya karyawan – terutama karyawan potensial – memutuskan untuk resign dari tempat kerjanya. Kehilangan karyawan potensial tentu saja memiliki dampak signifikan bagi perusahaan, dikarenakan tidak jarang karyawan memiliki pengetahuan dan keterampilan langka. Oleh sebab itu, memahami proses psikologis di balik keputusan resign seorang karyawan dapat memberikan masukan yang berharga bagi perusahaan.
Pandangan umum atas alasan karyawan untuk resign adalah perasaan tidak puas dengan tempat kerja. Secara sederhana, karyawan akan bertahan di organisasi apabila imbalan yang mereka terima setara dengan kontribusi dan harapan mereka. Meski demikian sebuah model yang dikembangkan oleh Terence R. Mitchell dan Thomas W. Lee dari University of Washington Seattle memberikan gagasan alternatif atas proses resign karyawan. Dikenal dengan Unfolding Model, model ini menyampaikan bahwa, seseorang dapat memiliki intensi untuk resign setelah mengalami suatu kejadian signifikan, yang dikenal dengan kejutan (shock). Kejadian ini dapat berupa hal yang positif (semisal menikah), negatif (seperti masalah dengan rekan kerja atau atasan), atau netral (semisal memperoleh tawaran pekerjaan di tempat lain). Kejadian tersebut mendorong munculnya proses pemikiran dan emosional, yang kemudian akan mendorongnya mencari alternatif tempat kerjanya serta pada akhirnya, berkontribusi pada keputusan keluar.
Secara umum, terdapat 4 kategori kejadian yang dapat memicu intensi atas resign.
Kejadian yang sudah direncanakan. Pada kategori ini, karyawan sudah memiliki rencana atau ekspektasi bahwa ia akan resign apabila ia mengalami suatu kejadian. Sebagai contoh, ia mungkin sudah memiliki rencana akan resign apabila hamil. Saat ia mengetahui bahwa ia hamil, maka, ia akan secara otomatis mengajukan resign, terkadang bahkan tanpa mencari alternatif pekerjaan.
Kejadian tidak direncanakan yang bertentangan dengan nilai ideal karyawan. Pada kategori ini, karyawan mungkin sebelumnya tidak memiliki rencana atau ekspektasi akan resign, tetapi ia mengalami kejadian yang diinterpretasikan merupakan hal yang negatif atau bertentangan dengan nilai-nilai personalnya. Sebagai contoh, seorang karyawan memperoleh atasan atau rekan kerja baru di tim yang sering mengambil pengakuan atas idenya. Hal ini bertentangan dengan pandangannya mengenai tim dan atasan yang suportif, yang membuatnya menjadi tidak puas dengan pekerjaannya dan mempertimbangkan untuk resign.
Kejadian tidak direncanakan yang membuat karyawan membandingkan situasi atau pekerjaannya. Pada kategori ini, karyawan mungkin sebelumnya juga tidak memiliki rencana atau ekspektasi akan resign, tetapi ia mengalami kejadian atau memperoleh informasi yang membuatnya memiliki perbandingan atas situasinya saat ini. Sebagai contoh, ia menerima tawaran pekerjaan di tempat lain, yang lantas membuatnya mempertimbangkan untuk resign.
Kumpulan kejadian-kejadian kecil yang membuat karyawan merasa tidak puas dengan pekerjaannya. Pada kategori ini, karyawan tidak mengalami kejadian yang mengejutkan (shock) , tetapi, ia secara terus-menerus mengalami kejadian yang menimbulkan ketidakpuasan dalam pekerjaan. Sebagai contoh, ia mungkin secara berkala mengalami keterlambatan pembayaran gaji, atau merasa bahwa beban kerjanya sering kali tidak sepadan dengan upahnya. Hal Ini dapat mendorong karyawan untuk mempertimbangkan resign. Karyawan bisa jadi akan langsung resign tanpa mencari alternatif pekerjaan, atau ia mungkin akan mencari alternatif terlebih dahulu sebelum resign.
Setelah memahami mengenai proses resign karyawan, maka perusahaan perlu mencari tahu faktor-faktor apa yang dapat membuat karyawan bertahan. Salah satu perspektif tersebut adalah Job Embeddedness. Konsep ini juga disampaikan oleh Terence R. Mitchell dan Thomas W. Lee. Dalam perspektif ini, alasan seseorang resign dari pekerjaannya lebih sering disebabkan oleh kejadian yang mengejutkan daripada ketidakpuasan atas pekerjaan itu sendiri. Oleh sebab itu, faktor di luar pekerjaan, kecocokan dengan pekerjaan, dan kedekatan dengan berbagai entitas di organisasi dan komunitas dapat juga berdampak pada keputusan resign.
Link atau hubungan formal atau informal seseorang dengan orang lain atau kelompok di pekerjaan dan di komunitas, baik di dalam pekerjaan atau di luar pekerjaan. Hal Ini dapat berarti rekan kerja, tim, atasan, teman, keluarga, tim, dan sebagainya. Jejaring seseorang di tempat kerja sama pentingnya dengan di luar tempat kerja. Meninggalkan suatu pekerjaan dapat membuat karyawan terpaksa meninggalkan orang-orang dan anggota tim yang dia anggap penting berharga. Bahkan tidak jarang seseorang menetap di suatu pekerjaan karena ia menyukai hubungannya dengan rekan kerja, bahkan meskipun ada hal-hal lain di organisasi yang tidak ia sukai. Di sisi lain, hubungan dengan orang lain di luar pekerjaan, seperti pasangan, anak-anak, dan orang tua juga dapat mempengaruhi keputusan apakah seseorang akan resign atau menetap. Sebagai contoh, seorang karyawan wanita mungkin akan memperitmbangkan untuk keluar dari tempat kerjanya karena harus mengikuti suaminya atau karena ia mengalami kehamilan.
Fit merujuk pada kompatibilitas seseorang dalam setting pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Secara umum, perasaan bahwa seorang karyawan merasa cocok atau kompatibel dengan lingkungan tempat kerjanya (person-environment fit) akan lebih mungkin untuk membuatnya bertahan daripada resign. Persepsi atas ketidakcocokkan (mis-fit, terutama dengan nilai atau values personal, umumnya akan cenderung meningkatkan kemungkinan untuk resign.
Sacrifice adalah keuntungan material dan psikologis yang harus ditinggalkan seseorang saat ia keluar dari pekerjaannya. Sebagai contoh, saat meninggalkan pekerjaan, seseorang mungkin akan kehilangan paket kompensasi dan benefit yang menarik, proyek yang menantang, kesempatan pelatihan dan pengembangan, stabilitas pekerjaan, dan sebagainya. Di samping aspek kompensasi dan benefit, terdapat pula aspek lain yang bersifat lebih subtle, yang dikenal dengan personal investment. Seiring waktu, personal investment cenderung meningkat apabila seseorang bertahan di tempat kerjanya, seperti waktu yang dibutuhkan untuk dapat memperoleh cuti besar.
Mengetahui alasan dan proses di balik resign-nya seorang karyawan tentunya akan sangat berguna bagi manajer dalam merencanakan dan menentukan bagaimana mereka dapat mengelola tim dan mempertahankan karyawan. Terlebih, riset membuktikan bahwa karyawan yang merasa fit dengan pekerjaan dan anggota tim akan cenderung bertahan Oleh sebab itu, asesmen dini atas potensi, kompetensi, dan kapabilitas karyawan dapat menjadi penting untuk dapat membantu mengetahui apakah karyawan akan fit dengan pekerjaan dan tempat kerjanya, yang dapat mengurangi kemungkinan karyawan untuk resign.
Ditulis oleh Herjuno Tisnoaji - Resident Assessor prasmul-eli