Beranda
>
Gagasan
>
Artikel

Menghadapi Tren Quiet Quitting di Lingkungan Kerja


28 November 2022
Web-Nov-Sohibi-QuiteQuitting.jpg

Baru-baru ini muncul sebuah istilah baru di dunia kerja, yaitu quiet quitting. Istilah ini pertama kali muncul dari sebuah video di platform TikTok oleh seseorang yang bernama Zaid Khan. Sejak kemunculannya, istilah ini terus dibicarakan oleh banyak orang dan menjadi viral sebagai sebuah “tren” di kalangan pekerja. 

Pengertian Quiet Quitting yang Populer di Media Sosial

Berdasarkan video berdurasi 17 detik yang dibuat Zaid Khan dapat dipahami bahwa quiet quitting bukanlah pengunduran diri dari pekerjaan. Akan tetapi, berhenti segala ambisi untuk mengejar kesempurnaan dalam bekerja. 

Cukup dengan menyelesaikan kewajiban dalam pekerjaan, tanpa harus mengejar prestasi dalam berkarier. Meninggalkan hustle culture dalam bekerja dan beralih untuk bekerja secara bare minimum. Dengan kata lain, quiet quitting berarti Anda menjadi pegawai yang biasa-biasa saja.

Tren ini muncul barangkali salah satunya sebagai respon atas banyak pekerja yang merasakan kejenuhan dalam bekerja. Terutama di masa pandemi lalu, banyak sekali pekerja yang merasa tuntutan pekerjaan semakin meningkat di tengah kondisi yang serba terbatas. Akibatnya, ditemukan banyak sekali gejala anxiety dan burn out di antara para pekerja.

Gerakan ini pun memunculkan sejumlah perdebatan dalam dunia kerja. Ada yang menyebutkan bahwa gerakan ini hanyalah bentuk dari rasa malas dan juga rendahnya inisiatif pekerja. Di lain pihak, tren ini perlu menjadi perhatian karena pekerja pun berhak untuk mendapatkan perlindungan secara  fisik dan mental dalam bekerja.

Cara Merespons Quiet Quitting di Perusahaan

Apabila quiet quitting semakin populer dan dilakukan oleh banyak orang, apakah bisa menurunkan performa perusahaan? Apabila Anda sebagai pemimpin perusahaan mulai menangkap sinyal-sinyal quiet quitting di antara para karyawan, langkah apa yang harus dilakukan? Berikut ini adalah lima tips untuk merespon fenomena quiet quitting di lingkungan kerja.

  1. Menerapkan siklus 360 feedback

Hal ini dimulai dengan pemimpin yang lebih proaktif mendengarkan suara karyawan. Apabila biasanya karyawan lebih banyak mendengarkan arahan dan motivasi dari atasan, kini saatnya atasan untuk mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi dan dirasakan di level pelaksana. 

Tidak hanya itu, karyawan pun dapat saling memberikan feedback kepada sesama rekan kerja. Diharapkan hal ini dapat membantu seluruh karyawan untuk mengutarakan lingkungan kerja seperti apa yang mereka harapkan sehingga produktivitas kerja pun dapat tercapai.

  1. Melakukan pemetaan karier

Adakalanya penurunan motivasi kerja karyawan terjadi karena masa depan karier yang tidak jelas di perusahaan. Untuk itu, sebagai atasan Anda dapat membantu memetakan bagaimana perusahaan dapat memberikan ruang mereka untuk dapat tumbuh dan berkembang. 

Kesempatan apa yang mungkin dapat diberikan perusahaan apabila karyawan menunjukkan prestasi dalam bekerja, misalnya seperti promosi atau belajar di departemen yang berbeda. Mungkin tidak semua karyawan ingin memegang jabatan sebagai manajer, tapi perusahaan pun harus jeli terhadap potensi karyawan dan bagaimana mereka dapat meningkatkan kapasitas dirinya.

  1. Menawarkan fleksibilitas dalam bekerja

Wacana fleksibilitas dalam bekerja semakin menguat terutama setelah masa pandemi. Perkembangan teknologi pun semakin membantu perusahaan untuk bisa membuat skema kerja yang tidak mengharuskan seluruh karyawan selalu datang ke tempat kerja. Memberikan pilihan para karyawan untuk dapat mengatur skema kerjanya secara termonitoring, diharapkan membantu mereka untuk menyelesaikan pekerjaan tanpa harus mengabaikan urusan pribadinya.

  1. Menghadirkan lingkungan kerja yang sehat

Banyak karyawan yang peduli dengan kesehatan mentalnya, salah satunya adalah dengan menghindari lingkungan kerja toksik yang melelahkan dan tidak memperhatikan kesejahteraan karyawan. Untuk itu, hindarilah kebiasaan memberikan tugas pada karyawan di luar jam bekerja. Sebagai atasan, Anda harus dapat memilah mana hal yang sesekali boleh dilakukan dalam keadaan mendesak dan mana yang menjadi kebiasaan.

Salah satu solusinya adalah menyusun pola komunikasi di tim dengan baik dan terencana. Karyawan tidak selalu harus “siaga” 24 jam untuk bekerja. Apabila terdapat hari yang dipadati dengan berbagai meeting, Anda dapat memberikan waktu kepada mereka untuk rehat sejenak sebelum melanjutkan aktivitas.

  1. Memberikan dukungan bagi karyawan

Salah satu bentuk perusahaan untuk menghargai kebutuhan dari karyawannya adalah dengan memberikan tunjangan. Beberapa tunjangan yang umumnya diberikan antara lain adalah asuransi, kesehatan, pesangon, atau bantuan keuangan lainnya. Tidak selalu berupa dana, memberikan kesempatan mengambil cuti atau izin terkait kebutuhan personalnya pun dapat menjadi salah satu bentuk dukungan bagi karyawan.

Sebagai tren yang masih relatif baru, masih diperlukan penelusuran terkait quiet quitting. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan karyawan mencari tempat kerja baru. Jangan biarkan karyawan Anda berkecil hati untuk menghindari lingkungan kerja yang toxic dan buatlah mereka tetap termotivasi dalam mencapai tujuan.

ARTIKEL TERKAIT