Beranda
>
Gagasan
>
Artikel

Bagaimana Training Supply Chain Management Bisa Mengatasi Gap Kompetensi Supply Chain?

cover-artikel-putih.jpg

Digitalisasi telah mendorong proses dalam supply chain management untuk mengadopsi teknologi digital. Faktanya menurut studi dari Delloite tahun 2022 menemukan meskipun 76% perusahaan sudah berinvestasi pada solusi digital berbasis AI, hanya 25% para profesional supply chain yang merasa cukup terlatih dengan teknologi digital. 

Studi dari Delloite tersebut didukung oleh survei tahunan dari McKinsey yang dilaksanakan pada tahun 2020 kepada para pimpinan supply chain perusahaan. Survei tersebut menyebutkan bahwa sebanyak 90% responden mengatakan bahwa mereka kekurangan talenta yang cukup untuk mencapai tujuan digitalisasi perusahaan. 

Fakta mengejutkan dari temuan itu adalah bahwa sebagian besar manajemen senior tidak memiliki pengetahuan cukup tentang supply chain sehingga mereka tidak sadar akan tantangan yang dihadapi dalam proses supply chain management. 

Apa yang terjadi jika kesenjangan kompetensi masih ada bahkan kekurangan talenta dalam supply chain management? Tentu, perusahaan akan lebih lamban dalam mengeluarkan produk hingga akhirnya sampai ke tangan konsumen.

Jika perusahaan makin lamban dalam berinovasi mengeluarkan produk, maka perusahaan perlu siap sedia untuk tersaingi oleh kompetitor. 

Lantas, bagaimana mengatasi gap kompetensi supply chain tersebut? Anda akan menemukan jawabannya disini. 

Gap Kompetensi yang Sering Dihadapi di Divisi Supply Chain 

Seorang profesional di bidang supply chain perlu memiliki kompetensi baik secara teknis maupun non teknis. Kompetensi teknis mencakup kompetensi analisis data, melakukan perencanaan dan forecasting, manajemen rantai pasok, dan masih banyak lagi.

Kompetensi non teknis pun dibutuhkan karena mereka akan terhubung dengan berbagai vendor seperti pemasok bahan baku, distributor, dan lainnya sehingga kemampuan komunikasi, negosiasi menjadi kewajiban yang perlu dikuasai. 

Dengan adanya digitalisasi, banyak peralatan digital yang digunakan membuat para profesional butuh waktu untuk beradaptasi. Berikut ini beberapa kesenjangan kompetensi yang ditemukan ketika sebuah perusahaan ingin mengadopsi digitalisasi dalam proses supply chain. 

Kurangnya Kemampuan Data Analytics dan Penguasaan Teknologi Digital

Banyak staf supply chain masih mengandalkan spreadsheet manual dan belum terbiasa menggunakan peralatan analitik seperti SAP, Power BI, Tableau, atau software supply chain lainnya. Hal ini menyebabkan pengambilan keputusan cenderung intuitif dan lambat, bukan berdasarkan data yang akurat dan real-time.

Minimnya Pemahaman End-to-End Supply Chain

Beberapa anggota tim hanya fokus pada satu fungsi, seperti pengadaan atau logistik, tanpa memahami bagaimana proses tersebut terhubung dalam keseluruhan rantai pasok. Kurangnya perspektif holistik ini dapat menghambat efisiensi dan mengurangi kolaborasi lintas fungsi.

Keterbatasan dalam Forecasting dan Demand Planning

Kegiatan perencanaan permintaan seringkali belum berbasis metode ilmiah atau data historis yang cukup. Akibatnya, perusahaan rentan mengalami kelebihan atau kekurangan stok, yang pada gilirannya berdampak pada cash flow, biaya penyimpanan, dan kepuasan pelanggan.

Lemahnya Kemampuan Komunikasi dan Stakeholder Management

Tantangan komunikasi muncul terutama saat bekerja lintas divisi atau berinteraksi dengan supplier dan mitra global. Ketidakmampuan dalam menyampaikan kebutuhan atau menyelaraskan ekspektasi sering menyebabkan miskomunikasi, keterlambatan pengiriman, atau konflik internal.

Kurang Adaptif terhadap Perubahan (Change Management)

Dalam dunia supply chain yang cepat berubah, terutama karena faktor global seperti pandemi atau geopolitik, tim yang tidak agile akan kesulitan beradaptasi. Banyak yang belum terlatih untuk merespons perubahan secara cepat dan strategis.

Kekurangan Kemampuan Integrasi Teknologi dan Otomatisasi

Transformasi digital menuntut penguasaan sistem seperti WMS (Warehouse Management System), TMS (Transportation Management System), RFID, dan IoT. Namun banyak sumber daya manusai yang belum menguasai teknologi ini, sehingga perusahaan kehilangan peluang efisiensi operasional.

Minimnya Kompetensi Risk Management dan Scenario Planning

Risiko seperti gangguan pasokan, fluktuasi harga bahan baku, atau bencana alam perlu diantisipasi dengan baik. Sayangnya, tidak semua tim supply chain memiliki keterampilan untuk menyusun perencanaan skenario yang komprehensif dan siap dieksekusi saat terjadi krisis.
 

Mengatasi Gap Kompetensi Para Profesional Supply Chain dengan Training Supply Chain Management 

Cara terbaik untuk mengatasi gap kompetensi adalah dengan mengadakan program upskilling dan reskilling.

Program upskilling akan membantu karyawan untuk meningkatkan atau memperdalam kompetensi atau keterampilan yang sudah dimiliki agar lebih relevan dan produktif dalam kerjaan saat ini. 

Contoh upskilling adalah ketika seorang staf supply chain yang sudah terbiasa menggunakan Excel belajar menggunakan Power BI untuk membuat laporan yang lebih interaktif dan otomatis.

Sedangkan program reskilling adalah program untuk mempelajari keterampilan baru yang berbeda dari keterampilan yang dimiliki sebelumnya, biasanya untuk berpindah peran atau tanggung jawab kerja.

Misalkan seorang staf gudang yang sebelumnya hanya mengatur stok fisik dilatih untuk menjadi admin logistik digital yang menggunakan sistem ERP.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana penerapan upskilling dan reskilling dalam mengatasi gap kompetensi ini? Perusahaan bisa mempertimbangkan untuk mengadakan training supply chain management dengan memperhatikan hal-hal berikut ini.

Lakukan Benchmark Sesuai dengan Skills Framework

Gunakan standar dari lembaga profesional seperti CBSC (Council of Supply Chain Management Professionals) atau CPSM (Certified Professional in Supply Management) untuk memetakan kompetensi yang dibutuhkan. Hal ini akan menjadi acuan dalam menyusun program pelatihan yang sesuai dengan standar global.

Analisis Gap Berdasarkan Data yang Valid

Lakukan survei internal untuk mengukur tingkat kemahiran karyawan terhadap keterampilan kritis seperti analisis data, penggunaan digital tools, dan pemahaman terhadap end-to-end supply chain. Hasil survei ini menjadi dasar dalam menentukan prioritas pelatihan.

Program Pelatihan Terpersonalisasi dan Bisa Disesuaikan 

Susun program pelatihan berdasarkan hasil gap analysis, misalkan apakah akan mengadakan program terpersonalisasi dalam bentuk short courses, sertifikasi profesional, atau pun in-house workshop.

Kolaborasi dengan Pihak Eksternal

Memperkuat kompetensi supply chain dapat dilakukan melalui kolaborasi eksternal dengan vocational school atau platform pelatihan seperti prasmul-eli,  Coursera, ASCM, dan ISCEA. 

Pendekatan ini memberikan akses pembelajaran yang lebih luas dan terkini. Selain itu, penerapan mentoring antara karyawan senior dan junior serta rotasi pekerjaan membantu memperluas exposure dan pemahaman karyawan terhadap berbagai aspek proses supply chain.

Adanya Monitoring & Measurement

Hal terpenting untuk mengukur efektivitas pelatihan dengan menggunakan metrik konkret seperti penurunan lead time, peningkatan akurasi forecasting, serta visibilitas yang semakin baik hingga ke tier supplier kedua atau ketiga. Data hasil pengukuran ini menjadi dasar evaluasi dan penyempurnaan program pelatihan yang harus dilakukan secara berkala, idealnya setiap 6 sampai 12 bulan.

Adanya Skill Development & T-Shaped Team Building

Pengembangan tim yang kompeten membutuhkan keseimbangan antara hard skill dan soft skill. Tim harus kuat secara teknis dalam bidang seperti data analytics, procurement, dan contract management. Namun, soft skill seperti manajemen risiko, kemampuan kolaborasi lintas fungsi, dan komunikasi efektif juga sama pentingnya untuk menunjang keberhasilan supply chain secara keseluruhan.

Rekomendasi Training Supply Chain Management untuk Capai Tujuan Digitalisasi Perusahaan

Dengan maraknya e-commerce, socio commerce, perusahaan perlu fokus untuk meningkatkan proses supply chain management agar produk bisa lebih cepat sampai di tangan konsumen. 

Bila perusahaan masih memiliki gap kompetensi yang cukup luas untuk mencapai tujuan digitalisasi perusahaan maka memilih training supply chain management yang tepat akan membantu mewujudkan tujuan tersebut. 

Seperti training supply chain management dari prasmul-eli yang memberikan pelatihan yang akan membahas berbagai praktik terbaru manajemen rantai pasok yang ada saat ini, keterkaitan peranan teknologi dalam menciptakan rantai pasok yang lebih cepat, lebih hemat dan lebih baik serta strategi ekosistem bisnis terkait SCM seperti omnichannel (offline kerjasama dengan online), cooperation (kerjasama dengan pesaing), disintermediation (produsen sekaligus retailer) serta resource sharing (penggunaan aset pihak lain).


Mari bersama-sama untuk tingkatkan talenta digital dalam proses supply chain management.

ARTIKEL TERKAIT