Pernahkah Anda menyusun rencana akhir pekan yang terdiri dari beberapa kegiatan sekaligus dan bahkan juga mengecek pekerjaan kantor yang akan datang? Rasanya akhir pekan Anda terasa produktif sekali! Namun, apakah benar seperti itu?
Dilansir dari Republika.com, seseorang yang berada dalam situasi seperti itu memiliki kemungkinan mengalami toxic productivity. Toxic productivity merujuk pada sebuah kondisi mental seseorang yang disertai perasaan untuk selalu dapat produktif di setiap waktu.
Toxic productivity memiliki hubungan yang erat dengan workaholism atau overworking. Kondisi ini menjadi banyak terjadi di kalangan pekerja, khususnya selama masa pandemi. Menurut, Kathryn Esquer, psikolog, hal ini terjadi karena banyak rutinitas yang biasa kita lakukan sehari-hari mendadak harus terhenti akibat pandemi.
Seseorang yang mengalami toxic productivity umumnya merasakan munculnya rasa bersalah saat tidak melakukan sesuatu untuk mengisi waktunya. Maka dari itu, mereka akan selalu berusaha mengisi waktu luang dengan mencoba bekerja “lebih” dari yang diharapkan.
Bekerja dari rumah memberikan waktu luang lebih banyak dibandingkan saat kita bekerja dari kantor. Namun, tidak sedikit orang yang menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan untuk tetap merasa berharga dan memegang kendali. Berikut ini adalah ciri-ciri orang yang kemungkinan mengalami toxic productivity.
Merasa gagal jika tidak produktif. Ketika telah selesai satu pekerjaan, akan muncul keinginan untuk terus melanjutkan dengan pekerjaan lainnya.
Terlalu fokus pada hal-hal yang belum diselesaikan padahal Anda mungkin telah bekerja dengan baik untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan. Namun, Anda hanya memikirkan pada daftar pekerjaan yang belum Anda selesaikan.
Merasa bersalah ketika memilih untuk bersantai. Bersantai atau beristirahat sejenak adalah hak setiap orang ketika telah menyelesaikan pekerjaan. Namun, toxic productivity membuat Anda tidak dapat menikmati waktu santai.
Memforsir diri dengan setumpuk pekerjaan. Memaksakan diri untuk terus menambah daftar pekerjaan yang harus diselesaikan akan berdampak buruk bagi kesehatan mental Anda. Bekerjalah dengan sungguh-sungguh sesuai porsinya dan gunakan waktu istirahat dengan baik untuk memulihkan diri.
Timbul rasa lelah yang tidak wajar. Merasa lelah setelah bekerja adalah suatu hal yang sangat normal. Namun, ketika Anda bekerja secara berlebihan, maka Anda mungkin merasakan lelah walau di saat bangun tidur.
Seseorang yang mengalami toxic productivity memiliki kemungkinan besar mengalami burn out dalam pekerjaannya. Selain itu, Anda pun akan lebih mudah marah atau kesal dengan orang-orang di sekitar Anda. Terlebih lagi, Anda lebih memilih untuk dikelilingi oleh setumpuk pekerjaan ketimbang berinteraksi dengan keluarga atau teman-teman dekat.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghindari toxic productivity. Langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah dengan mengenali tanda-tandanya dan juga mengakui bahwa hal tersebut terjadi pada Anda.
Jika sudah mengetahuinya, cobalah untuk sedikit memberi kelonggaran pada diri sendiri. Ketika Anda telah menyelesaikan suatu pekerjaan, hindari untuk langsung mencari hal lainnya yang dapat dikerjakan. Mulailah untuk berpikir bagaimana caranya agar Anda dapat bekerja dengan lebih mudah dan tidak membuat stres.
Agar dapat melepaskan diri dari cengkeraman toxic productivity, Anda harus menyayangi diri sendiri. Lupakan pekerjaan dan urusan kantor untuk sejenak. Bekerjalah dengan efektif dan efisien, gunakan waktu istirahat untuk menyegarkan kembali pikiran setelah lelah bekerja.
Pergi ke salon, berolahraga, menonton film yang Anda suka, atau sebatas duduk santai sambil mendengarkan musik dapat menjadi salah satu alternatif untuk membuat diri Anda rileks. Hal penting lainnya yang dapat Anda lakukan adalah dengan memegang kendali atas diri Anda.
Bedakan mana pekerjaan yang benar-benar harus Anda kerjakan dan pekerjaan yang Anda pikir perlu Anda lakukan. Bekerjalah sesuai porsinya dengan sungguh-sungguh dan manfaatkan waktu istirahat Anda dengan baik.
Dalam menyelesaikan pekerjaan, karyawan juga perlu diatur keseimbangan kinerjanya selama beraktivitas. Hal ini bukan hanya terkait dengan “getting the job done”, melainkan menjadi best self”. Demi mendukung potensi diri masing-masing, prasmul eli merancang program Coaching, Counselling, and Mentoring.
Melalui program tersebut, peserta bisa mendapatkan teknik dialog atau percakapan yang positif agar dapat membantu mengungkapkan potensi terbaik seseorang. Metode role play dalam program tersebut juga akan mendorong peserta untuk fokus terhadap pengembangan diri secara pribadi, bukan hanya terbelenggu pekerjaan dalam konteks yang negatif.