Seorang manajer dalam perusahaan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap performa timnya. Untuk itu, para manajer direkomendasikan untuk mengikuti leadership training terbaik baik yang ada di Jakarta atau secara daring sesuai dengan posisi perusahaan.
Namun, pelatihan kepemimpinan yang diikuti tidak hanya yang mengajarkan teori saja dan pendekatan yang pada umumnya. Seorang manajer perlu leadership training dengan pendekatan berbeda seperti dengan pendekatan neuroscience.
Neuroscience adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana otak manusia bekerja. Leadership training yang menggunakan pendekatan neuroscience biasanya disebut dengan pelatihan neuroleadership.
Program pelatihan kepemimpinan yang berbasis neuroscience mendorong penguatan jalur neural melalui praktik reflektif, simulasi, latihan bekelanjutan, dan bukan sekedar teori semata.
Berdasarkan jurnal penelitian IOSR Journal of Business and Management menyebutkan bahwa Investasi pada pelatihan leadership berbasis neuroscience tidak hanya menguntungkan individu, tetapi juga berdampak positif pada budaya organisasi yakni menumbuhkan kolaborasi, inklusi, dan produktivitas jangka panjang
Mari mengenal manfaat leadership training dengan pendekatan neuroscience ini.
Apa itu neuroleadership? Sederhananya neuroleadership adalah penggabungan praktik kepemimpinan dengan ilmu cara otak bekerja (neuroscience).
Ada tiga elemen yang diutamakan dalam neuroleadership ini yakni tentang bagaimana menumbuhkan growth mindset, menciptakan budaya yang mengedepankan psycological safety, dan menumbuhkan accountability.
Fokus utamanya ada pada pengambilan keputusan berbasis struktur otak, regulasi emosi (prefrontal cortex vs amygdala), keterlibatan dan kolaborasi tim, dan perubahan budaya organisasi.
Ilmu neuroscience ini belum tentu dikuasai oleh para manajer baik di perusahaan menengah maupun perusahaan besar. Sehingga kepemimpinan yang dirasakan adalah seperti berikut ini:
Manajer akan memimpin berdasarkan intuisi dan kebiasaan apa yang sudah ada di perusahaan atau kebiasaan lamanya. Hal ini akan menimbulkan bias kognitif seperti confirmation bias, status quo bias.
Tanpa mengetahui neuroscience manajer hanya akan menggunakan pola komunikasi lama yang cenderung otoriter, dan mengambil keputusan yang tidak efektif.
Tanpa memahami ilmu neuroscience dalam rangka mengelola stres dan tekanan maka manajer akan mudah meledak ketika terjadi tekanan yang begitu intens. Apa yang terjadi? Tentu yang akan kena imbasnya adalah tim yang dipimpinnya. Dampaknya akan membuat kehilangan rasa hormat dari timnya, adanya konflik emosional dalam tim internal, hingga burn out.
Tanpa lingkungan yang nyaman akan membuat manusia kesulitan menunjukkan kemampuan terbaiknya. Seorang manajer yang tidak mampu membuat lingkungan aman untuk timnya mengutarakan ide dan pendapatnya akan berdampak pada budaya kerja yang penuh dengan kepura-puraan.
Manajer hanya memimpin dengan satu gaya kepemimpinan yang sejatinya tidak sesuai dengan tim yang dipimpinnya. Satu gaya kepemimpinan yang berulang itu karena si manajer tidak mengerti cara otak bekerja. Jika ini berlangsung terus maka manajer tidak bisa mengembangkan potensi tim secara optimal yang bisa meningkatkan engagement yang rendah, dan turnover yang tinggi.
Hal ini yang cenderung berbahaya bagi manajer jika kaku dalam menghadapi perubahan. Kenapa kaku dalam menghadapi perubahan? Karena mereka tidak memahami bahwa otak cenderung menolak perubahan, menganggap resistensi sebagai pembangkangan, bukan reaksi neurologis yang wajar. Dampak terbesarnya adalah proses transformasi dalam organisasi bisa berjalan lambat.
Manajer yang mampu mendalami ilmu neuroscience akan mampu meningkatkan kemampuan kepemimpinannya. Berikut ini beberapa manfaat jika seorang manajer bisa menerapkan neuroleadership.
Neuroscience membantu menjelaskan bagaimana otak merespons ancaman dan imbalan (reward), sehingga pemimpin bisa lebih efektif dalam berkomunikasi dan memotivasi tim. Tidak hanya berhenti di situ saja, manajer pun menjadi lebih empati ketika terjadi permasalahan dalam tim.
Manajer memahami bagian otak seperti prefrontal cortex yang mengontrol pengambilan keputusan dan regulasi diri, amygdala sebagai pusat emosi, dan limbyc system sebagai pusat motivasi dan memori emosional.
Dengan memahami cara kerja bagian otak tersebut manajer bisa meningkatkan self-awareness dan self regulation, menumbuhkan empati, hingga menghindari reaksi impulsif saat menghadapi tekanan.
Dengan mengimplementasikan ilmu neuroleadership, manajer mampu menggunakan pendekatan saintifik untuk mengelola stres seperti dengan melakukan mindfulness dan juga latihan pernafasan dan olahraga ringan.
Otak manusia memiliki kecenderungan untuk lebih menerima perubahan bila diberikan kejelasan arah, dukungan sosial, dan motivasi intrinsik. Pendekatan neuroleadership mendukung keberhasilan transformasi organisasi dengan mengurangi resistensi perubahan, dan menumbuhkan budaya kolaboratif dan intuitif.
Pemahaman tentang hormon sosial misalnya hormon oksitosin membantu menciptakan lingkungan kerja yang aman secara emosional dan ruang terbuka untuk berbagi ide tanpa takut dikritik.
Di era kepemimpinan multi generasi, perubahan pasar yang semakin tidak terprediksi, pelatihan kepemimpinan dengan pendekatan neuroscience merupakan sebuah terobosan baru dan relevan.
Leadership training dengan pendekatan neuroscience mendorong manajer untuk memahami cara otak bekerja.
Memahami cara otak bekerja adalah kunci untuk mengambil keputusan yang lebih bijak, mengelola emosi secara efektif, serta mendorong kolaborasi dan perubahan yang berkelanjutan.
Ada rekomendasi leadership training terbaik di Jakarta dengan spesialisasi di bidang neuroscience yang ada di prasmul-eli, program tersebut bernama program neuro leadership.
Program ini dirancang khusus bagi para pemimpin yang ingin memaksimalkan potensi otak dalam menghadapi tantangan abad ke-21.
Dalam pelatihan intensif ini, peserta akan diajak untuk mengeksplorasi ilmu neuroscience dan mengaplikasikannya secara langsung dalam konteks kepemimpinan dan manajemen perubahan.
Jika Anda percaya bahwa kepemimpinan yang unggul dimulai dari cara berpikir yang tepat, neuroleadership adalah langkah strategis untuk memulainya.